Laut dan matahari membawa berkah bagi penduduk Pulau Madura, Jawa Timur. Betapa tidak, air laut dengan sinaran matahari menghasilkan garam curah yang sejak dulu dikenal sebagai produk utama masyarakat Madura.
Selama berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin ratusan tahun silam, hasil dari kristal putih yang larut di kuali itu mampu menghidupi mereka. Tapi kini, semua berubah, meski rasanya tetap asin juga tetap enak bila bercampur makanan. Hasil menjual garam tak lagi bisa diharapkan atau sekadar memenuhi ekonomi keluarga.
Soalnya, banyak produk impor, seperti dari India, Yordania, dan Australia, di pasaran yang ditawarkan dengan harga murah. Ini menjadi ancaman bagi petani dan pemilik tambak garam di Madura, tentunya.
Delapan tahun silam, harga garam lokal bisa mencapai Rp 230 per kilogram. Sekarang petani cuma bisa menjual garam dengan harga Rp 150-180 per kg. Padahal, menurut Hamid, petani garam, seharusnya harga garam per kg sebesar Rp 200-225. Dengan demikian, petani akan menangguk laba optimal. Banyak cara telah dilakukan untuk mencapai harga tersebut. Sekretaris Daerah Kabupaten Sumenep Achmad Hadori mengaku pemerintah daerah telah bekerja sama dengan sejumlah perusahaan penampung garam untuk mengontrol harga garam. Masih belum berhasil. Kerena itu, Achmad meminta pemerintah pusat turut terlibat mengontrol harga. Menetapkan standar harga garam, misalnya. Ini tentu masih menjadi harapan.
Tak hanya pada pemerintah asa itu digantungkan. Seruntunan doa pada Yang Maha Kuasa pun dilantunkan para petani garam sebelum memulai usaha. Berlokasi di Komplek Pemakaman Damar Wulan di Desa Karanganyar, para petani garam menggelar upacara yang diadakan setiap musim kemarau tiba. Maksudnya, tak lain meminta restu Damar Wulan–yang dipecaya turun-temurun sebagai nenek moyang petani garam–agar hasil panen garam memuaskan.
Keesokan harinya, para petani mulai menggarap air laut untuk membuat garam. Sederhana memang metoda mereka. Air ditampung petak-petak tanah atau kolam dengan mengunakan kincir angin. Jika tak angin, mereka terpaksa menggunakan ember yang dipikul dengan menggunakan bambu untuk memenuhi kolam. Air yang memenuhi kolam dibiarkan terkena teriknya mentari selama beberapa hari sampai kadar garam bertambah tinggi. Jika cuaca cerah tanpa mendung, biasanya garam yang berkualitas dengan bentuk kristal besar berwarna putih bisa dipanen dalam tempo sepuluh hari. Hasil panen juga ditentukan kualitas tanah tambak. Semakin keras permukaan tanah kian bagus pula garam yang dihasilkan.
Garam telah dituai. Saatnya bagi para tengkulak yang biasa disebut pengepul datang. Mereka membeli garam dari petani. Lalu, mereka jual ke pabrik garam. Karena harus menunggu bayaran dari pabrik, mereka masih mengutang ke petani. “Setelah pabrik membayar tunai, baru kami melunasi. Itupun paling lama sehari,” kata Chairul Anwar, pengepul. Yah, petani memang lebih memilih mendagangkan garamnya pada tengkulak daripada langsung ke pabrik. Alasannya, PT Garam selaku penampung selalu membeli garam curah lebih murah ketimbang harga yang ditawarkan pengepul. “Kami membeli garam sesuai harga pasar. Jika melebihi, kami tak mampu,” dalih Thohir Mustadjab, Direktur Produksi PT Garam.
Selain itu, berbeda dengan produk PT Garam, petani di Sumenep belum mampu memproduksi garam beryodium. Padahal, tanpa zat itu, konsumen bisa terancam penyakit gondok. Untuk menanggulanginya, Pemda setempat mengaku telah menyumbangkan 38 ton garam beryodium untuk dipasarkan. Pemda juga menggalakkan penyuluhan pemakaian garam beryodium kepada masyarakat. Agar masyarakat menyadari arti penting zat tersebut bagi kesehatan yang menjadi harapan tentunya. Lantas, bagaimana dengan nasib petani garam? Satu yang pasti, mereka masih tetap menunggu berkah.
Sumber : berita.liputan6.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar