"FORMULASI AGENS PENGENDALI HAYATI (APH) GOLONGAN BAKTERI MENURUT AHLI BAKTERI"
Akhir-akhir
ini pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dengan menggunakan
agens pengendali hayati (APH) telah banyak digunakanan. Penelitian
tentang formulasi APH pun telah mulai banyak dilakukan. Pembuatan APH
dalam bentuk formulasi memiliki beberapa persyaratan, antara lain: 1)
mudah dalam distribusi di lapangan, dengan menggunakan metode dan
teknologi yang telah tersedia, 2) harus mempunyai tingkat standarisasi
aktivitas sehingga dapat dibuat tingkat aplikasi yang akurat, 3)
Menghindari secara maksimal pengaruh buruk dari lingkungan.
Formulasi
adalah campuran antara bio massa agens pengendali hayati dengan
bahan-bahan yang dapat meningkatkan efektivitas dan kemampuan hidup
agens pengendali hayati. Formulai agens pengendali hayati dapat berupa
produk kering atau cair. Dibandingkan dengan produk basah, formulasi
kering lebih baik untuk agens pengendali hayati yang membentuk spora.
Hal ini memungkinkan APH dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama.
Formulasi cair biasanya berisi sel APH sehingga kemungkinan kemampuan
bertahan hidupnya tidak terlalu lama.
Formulasi
mikrobia sebagai pengendali biologi harus bersifat efektif dan
ekonomis. Sifat efektif yaitu tetap dapat bertahan hidup selama dalam
penyimpanan dan baru akan aktif metabolismenya setelah diaplikasikan
(Butt et al., 1999 dalam Salamah, 2003). Sifat ekonomis yaitu mempunyai bentuk yang sama, serta mudah diaplikasikan (Walter dan Alan, 1993 dalam Salamah,
2003). Sifat-sifat formulasi lainnya adalah mudah disterilkan, tidak
bersifat toksik, tetap pada sifat fisiknya, dan dapat memelihara
kestabilan hidup mikroorganisme dari kondisi yang tidak sesuai
(Boyetchko et al., 1999 dalam Salamah, 2003).
Adapun fungsi dasar dari formulasi adalah stabilisasi organisme selama produksi, distribusi dan penyimpanan, memudahkan penanganan dan aplikasi, melindungi agen dari faktor lingkungan yang dapat menurunkan kemampuan bertahan hidupnya, dan meningkatkan aktivitas dari agen untuk mengendalikan organisme target (Jones dan Burges, 1998).
Adapun fungsi dasar dari formulasi adalah stabilisasi organisme selama produksi, distribusi dan penyimpanan, memudahkan penanganan dan aplikasi, melindungi agen dari faktor lingkungan yang dapat menurunkan kemampuan bertahan hidupnya, dan meningkatkan aktivitas dari agen untuk mengendalikan organisme target (Jones dan Burges, 1998).
Menurut
ahli bakteri dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof. Tri
Widodo Arwiyanto (Komunikasi pribadi: 2012), faktor utama yang harus
diperhatikan dalam formulasi adalah kesesuaian bentuk formulasi dengan
sifat/ karakter dari bakteri yang akan diformulasikan.
Misalnya, bakteri gram negatif yang pada umumnya bersifat aerob, maka jika akan membuat formulasinya harus bentuk padat/ tepung, jangan dalam bentuk cair. Formulasi dalam bentuk padat/ tepung mampu menyediakan oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme bakteri, sedangkan formulasi cair tidak mampu menyediakan oksigen. Faktor lain yang juga harus dipenuhi adalah kemampuan dan keahlian kita untuk mengkondisikan bakteri pada struktur bertahan selama dalam formulasi. Misalnya, struktur bertahan berupa endospora, pada Bacillus spp.
Endospora pada bakteri tersebut memungkinkan organisme ini tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kadar air yang rendah. Sedangkan untuk bakteri yang tidak memiliki struktur bertahan, maka strategi yang dibutuhkan untuk formulasi adalah kemampuan kita untuk memposisikan bakteri tetap berada pada fase stasioner ketika dalam penyimpanan (Madjid, 2012). Fase stasioner merupakan suatu keadaan seimbang antara laju pertumbuhan dengan laju kematian, sehingga jumlah keseluruah bakteri yang hidup akan tetap (Handayani, 2011).
Misalnya, bakteri gram negatif yang pada umumnya bersifat aerob, maka jika akan membuat formulasinya harus bentuk padat/ tepung, jangan dalam bentuk cair. Formulasi dalam bentuk padat/ tepung mampu menyediakan oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme bakteri, sedangkan formulasi cair tidak mampu menyediakan oksigen. Faktor lain yang juga harus dipenuhi adalah kemampuan dan keahlian kita untuk mengkondisikan bakteri pada struktur bertahan selama dalam formulasi. Misalnya, struktur bertahan berupa endospora, pada Bacillus spp.
Endospora pada bakteri tersebut memungkinkan organisme ini tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kadar air yang rendah. Sedangkan untuk bakteri yang tidak memiliki struktur bertahan, maka strategi yang dibutuhkan untuk formulasi adalah kemampuan kita untuk memposisikan bakteri tetap berada pada fase stasioner ketika dalam penyimpanan (Madjid, 2012). Fase stasioner merupakan suatu keadaan seimbang antara laju pertumbuhan dengan laju kematian, sehingga jumlah keseluruah bakteri yang hidup akan tetap (Handayani, 2011).
Melengkapi
informasi diatas, menurut Dr. Yenny Wuryandari, MP., dosen Jurusan
Agroekoteknologi Fakultas Pertanian UPN â€VETERAN†Surabaya
(Komunikasi pribadi: 2012), hal-hal yang harus ada dalam formulasi APH
khususnya bakteri adalah 1) bahan pembawa, 2) bahan perekat (untuk
formulasi kering), dan 3) nutrisi tambahan. Pemilihan bahan pembawa yang
tepat dapat menentukan kemampuan bertahan bakteri selama dalam tempat
penyimpanan.
Bahan tambahan yang digunakan ketika membuat formulasi APH dapat bersifat sebagai bahan pembawa serta menjadi sumber nutrisi bagi agens hayati yang diformulasikan. Contoh bahan tambahan yang sering digunakan antara lain: tanah lempung, pupuk kandang, pupuk kompos, gambut dan kitin, kaolin, metil selulosa, selulosa, minyak nabati, dan polivinil pirolidone. Sedangkan penyediaan sumber nutrisi dapat dilakukan dengan cara penambahan sumber karbon, nitrogen, dan beberapa unsur mikro lainnya.
Bahan tambahan yang digunakan ketika membuat formulasi APH dapat bersifat sebagai bahan pembawa serta menjadi sumber nutrisi bagi agens hayati yang diformulasikan. Contoh bahan tambahan yang sering digunakan antara lain: tanah lempung, pupuk kandang, pupuk kompos, gambut dan kitin, kaolin, metil selulosa, selulosa, minyak nabati, dan polivinil pirolidone. Sedangkan penyediaan sumber nutrisi dapat dilakukan dengan cara penambahan sumber karbon, nitrogen, dan beberapa unsur mikro lainnya.
Formulasi bakteri Pseudomonas fluorescen yang sedang diteliti dan dikembangkan oleh Dr. Yenny Wuryandari, MP. adalah formulasi dalam bentuk pellet. Pada
formulasi tersebut, bahan pembawa yang digunakan adalah pupuk kandang
dengan bahan tambahan Carboksil Metil Cellulosa (CMC) yang berperan
sebagai sumber nutrisi dan bahan perekat.
Jika
formulasi agens hayati telah berhasil dilakukan, hal terpenting yang
harus dikerjakan adalah pemantauan produk tersebut dalam penyimpanan.
Pemantauan ini dilakukan melalui pengujian viabilitas bakteri yang
diformulasikan dengan interval waktu penyimpanan tertentu (misal: hari
atau minggu).
Hal ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan hidup bakteri dalam bentuk formulasi dalam penyimpanan. Pengujian viabilitas bakteri dilakukan dengan cara membuat suspensi bakteri dari bahan formulasi tersebut. Dari suspensi bakteri yang telah diperoleh kemudian dilakukan seri pengenceran sampai pengenceran tingkat 5 atau 6, kemudian menumbuhkan 0,1 ml suspensi bakteri dari hasil pengenceran.
Setelah diinkubasikan 24 jam, koloni bakteri yang tumbuh dihitung jumlahnya. Jika bakteri masih ada yang tumbuh, menunjukkan bahwa bakteri mampu bertahan dalam bentuk formulasi tersebut.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan hidup bakteri dalam bentuk formulasi dalam penyimpanan. Pengujian viabilitas bakteri dilakukan dengan cara membuat suspensi bakteri dari bahan formulasi tersebut. Dari suspensi bakteri yang telah diperoleh kemudian dilakukan seri pengenceran sampai pengenceran tingkat 5 atau 6, kemudian menumbuhkan 0,1 ml suspensi bakteri dari hasil pengenceran.
Setelah diinkubasikan 24 jam, koloni bakteri yang tumbuh dihitung jumlahnya. Jika bakteri masih ada yang tumbuh, menunjukkan bahwa bakteri mampu bertahan dalam bentuk formulasi tersebut.
 Menurut
Ir.Abdul Madjid, dosen jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Jember (Komunikasi Pribadi: 2012), selain populasi bakteri,
khusus untuk bakteri yang bersifat antagonis juga harus dipantau
efektivitas bakteri dalam menekan perkembangan patogen. Sedangkan
bakteri yang bersifat entomopatogen juga harus dipantau kemampuannya
dalam membunuh serangga sasaran.
Cara untuk mengetahui kemampuan penekanan bakteri antagonis terhadap patogen dilakukan dengan cara uji antagonisme. Teknik uji antagonisme dilakukan dengan cara menumbuhkan bakteri antagonis dengan metode titik pada medium yeast pepton glukose agar (YPGA) sampai umur 24 jam, kemudian menuangkan suspensi patogen yang telah dicampur dengan media water agar (WA) 0,6% pada bakteri antagonis yang telah ditumbuhkan tersebut.
Setelah 24 jam mengamati zona bening yang terbentuk dari pengujian yang telah dilakukan. Semakin besar zona bening yang dihasilkan, maka semakin besar kemampuan bakteri dalam menekan pertumbuhan patogen. Sedangkan teknik pengujian efektivitas bakteri entomopatogen dalam membunuh serangga sasaran dilakukan dengan cara mengaplikasikan bakteri pada serangga sasaran, kemudian dihitung jumlah serangga yang mati setelah aplikasi.
Cara untuk mengetahui kemampuan penekanan bakteri antagonis terhadap patogen dilakukan dengan cara uji antagonisme. Teknik uji antagonisme dilakukan dengan cara menumbuhkan bakteri antagonis dengan metode titik pada medium yeast pepton glukose agar (YPGA) sampai umur 24 jam, kemudian menuangkan suspensi patogen yang telah dicampur dengan media water agar (WA) 0,6% pada bakteri antagonis yang telah ditumbuhkan tersebut.
Setelah 24 jam mengamati zona bening yang terbentuk dari pengujian yang telah dilakukan. Semakin besar zona bening yang dihasilkan, maka semakin besar kemampuan bakteri dalam menekan pertumbuhan patogen. Sedangkan teknik pengujian efektivitas bakteri entomopatogen dalam membunuh serangga sasaran dilakukan dengan cara mengaplikasikan bakteri pada serangga sasaran, kemudian dihitung jumlah serangga yang mati setelah aplikasi.
BALAI BESAR PERBENIHAN & PROTEKSI TANAMAN PERKEBUNAN SURABAYA
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN - KEMENTERIAN PERTANIAN
Jl. Raya Mojoagung No. 52 Jombang Jawa Timur (Telp/Fax. 0321-496430)
administrator web : ditjenbun@deptan.go.id
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN - KEMENTERIAN PERTANIAN
Jl. Raya Mojoagung No. 52 Jombang Jawa Timur (Telp/Fax. 0321-496430)
administrator web : ditjenbun@deptan.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar