Indonesia adalah negeri penuh ironi. Negeri ini sering dipuji sebagai kaya raya, tetapi rakyatnya lapar tanah, terlihat dari sengketa tanah di berbagai daerah antara rakyat dengan usaha pertambangan, hak pengusahaan hutan, atau perkebunan.
Model pembangunan kita tidak dimulai dengan membereskan modal yang paling pokok, yaitu bumi, air, dan angkasa, seperti diamanatkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,” kata Prof Dr Sediono MP Tjondronegoro (80) di kediamannya di Bogor, Jumat (12/9) pagi.
Sepanjang karier akademisnya di Institut Pertanian Bogor dan setelah pensiun, Sediono selalu konsisten menyumbangkan pikirannya pada ilmu sosiologi, terutama menyangkut pertanian dan perdesaan.
Usia tidak menyurutkan langkahnya terus menyumbangkan pikiran, antara lain melalui lembaga nonpemerintah Akatiga dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Sediono menekankan, kemiskinan sebagian rakyat disebabkan pengabaian pada sektor pertanian dan perdesaan yang masih menjadi tumpuan lebih separuh penduduk Indonesia. Pembangunan lebih memberi tekanan pada produksi, tetapi melupakan pelakunya, yaitu petani kecil.
”Padi Super Toy HL2 contoh usaha mencari produksi lebih tinggi, tetapi tidak mengurus siapa yang menanam, siapa yang punya tanah, atau apakah yang menanam punya tanah atau tidak,” kata Sediono.
Begitu juga urbanisasi. Meskipun urbanisasi proses alamiah, tetapi sebagian besar orang pergi dari desa mencari kerja ke kota tanpa bekal ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan memadai sehingga di kota menimbulkan masalah sosial.
”Urbanisasi jadi begitu karena mereka ke kota bukan ditarik oleh industri atau teknologi maju,” tambah Sediono.
Setali tiga uang adalah perginya perempuan-perempuan desa menjadi buruh migran. ”Saya kok merasa tidak etis keinginan pemerintah menaikkan pengiriman tenaga kerja kita ke luar negeri. Bagaimana akibat sosialnya? Ini berbeda dengan India yang mengirimkan orang ke luar negeri karena kepandaiannya; mereka berpendidikan, menguasai teknologi,” tandas Sediono.
Kemandirian
Sebagai orang yang ikut berperan dalam pembentukan Indonesia, termasuk dalam perjuangan kemerdekaan 1945, Sediono merisaukan semakin rendahnya kemandirian Indonesia dalam mengelola sumber daya alam.
Hal itu bukan hanya merugikan rakyat petani, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik yang dapat menjadi anarki. Sediono meyakini, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) harus dilaksanakan untuk kesejahteraan dan keselamatan Indonesia.
”Pendidikan tambah maju, orang bertambah pintar, orang akan lebih sadar dan berorganisasi. Jiwa globalisasi adalah maju, kemerdekaan, hak yang sama, sangat demokratis. Kalau itu tidak terjadi, saya tidak bisa bayangkan akibatnya,” Sediono mengingatkan.
Pertanian masih penting?
Menurut saya, ya. Pertanian masih dasar dari pembangunan. Sekarang pertanian semakin penting karena pemanasan global. Eropa beralih ke biofuel (bahan bakar nabati). Untuk itu perlu tanah dan mungkin juga dari laut. Akhirnya tanah dijadikan perkebunan untuk biofuel karena hasilnya lebih tinggi. Di situ kita tergiur. Oke, tanam sawit saja. Akan tetapi, maaf, dengan modal sebagian besar dari luar.
Bagaimana ini? Kita mau tergantung kepada orang lain atau mau mandiri? Sumber daya alam dijual begitu saja. Tidak diproses di Indonesia. Penyulingan minyak bumi di Singapura. Di Freeport, dan saya sudah sampai di sana, tembaga dan emas mentah yang dinaikkan ke kapal. Yang tersisa tailing yang meskipun sudah ditangani tetap ada yang masuk ke sungai, mematikan ikan dan pohon di hutan.
Dulu Bung Hatta membikin komisi untuk inisiasi UUPA karena mau mandiri. Kita sudah mengalami eksploitasi oleh perkebunan Belanda, terutama di Jawa Barat.
Artinya, dijajah lagi?
Jangan-jangan kita memang lebih senang cari gampangnya karena tanah kita terlalu subur.
Termasuk menggampangkan dengan impor saja pangan?
Persis. Dan kalau itu terjadi di tingkat pimpinan, masya Allah….
Tahun 1945 saya sudah terlibat dalam suasana mau mandiri. Bung Karno, Hatta, dan Syahrir mau mandiri karena kita kaya.
Sekarang kekayaan itu diberikan dengan gampang sehingga nanti kalau kekurangan beras harus impor. Meskipun kita juga mengekspor, tetapi mengimpor dengan harga lebih mahal.
Petani dirugikan?
Jelas. Saya pernah menulis untuk ISEAS Singapura tahun 1978. Bukan saya anti kepada Revolusi Hijau. Waktu itu kita kekurangan pangan, jadi memilih produk yang dapat menumbuhkan padi dengan cepat dan banyak. Ir Siregar, ahli padi kita, menemukan banyak jenis padi, tetapi yang diproduksi padi dari International Rice Research International (IRRI) di Filipina.
Kita memang swasembada pangan, tetapi akibatnya pemilik tanah yang luas dapat menghasilkan padi dan memperoleh pendapatan lebih banyak. Bantuan dari pemerintah juga ada untuk membeli pupuk. Namun, yang semakin banyak adalah yang tanahnya mengecil dan usaha tani tidak lagi menguntungkan mereka. Akibatnya, petani dengan lahan kurang dari 0,5 hektar (ha) tidak ikut kemakmuran Revolusi Hijau, malah kadang-kadang utang.
Konsisten
Tanggal 24 September diperingati sebagai Hari Agraria dan itu mengingatkan kembali pentingnya mendengarkan tuntutan petani atas tanah, terutama bila dikaitkan dengan krisis pangan global, masalah lingkungan, dan perintah UUD 1945 untuk memanfaatkan bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
”Kalau mau merata betul, kembali pada UUPA. Petani diberi luasan tanah cukup, minimal 2 ha dan maksimal 5 ha untuk Jawa. Tidak cukup hanya dengan Panca Usaha Tani. Kalau mayoritas penduduk sudah kecukupan pangan dan kita bikin industri, yang tidak kerasan di pertanian silakan pindah,” kata Sediono.
Dia mengkritik pembangunan pertanian yang seperti abai pada kenyataan lebih banyak orang yang menggantungkan diri pada sektor itu daripada lahan yang tersedia. Kesannya, pemerintah lebih peduli pada peningkatan produksi hasil pertanian daripada kesejahteraan petaninya.
Sejak tahun 1960 pemerintah telah membuat kajian dan peraturan untuk pelaksanaan UUPA karena menyadari masalah tanah yang semakin kompleks dan dapat menghambat pembangunan. Pada tahun 1977, Presiden Soeharto meminta Prof Sumitro Djojohadikusumo dan Widjojo Nitisastro mengevaluasi situasi pertanahan.
”Kebetulan saya menjadi sekretaris eksekutif Pak Mitro dan Pak Widjojo,” kata Sediono. ”Hasil evaluasi dipakai Menteri Pertanian Soedarsono Hadisapoetro untuk menjelaskan posisi Indonesia dalam World Conference on Agrarian Reform and World Development di Roma tahun 1979 yang masih mendasarkan pada UUPA dan akan memperbaiki. Dalam praktik, tidak terjadi apa-apa.”
Tahun 2001 lahir Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang menugaskan pelaksanaan reformasi agraria. Tahun 2006 lahir Perpres Nomor 10 yang menetapkan UUPA tidak diamandemen dulu dan awal 2007 Presiden berjanji memulai reforma agraria (land reform) dengan membagikan 8,15 juta ha tanah kepada masyarakat dengan kriteria khusus.
”Akan dimulai dengan percobaan 400.000 ha, kebanyakan di luar Jawa supaya tidak timbul konflik karena penduduk di Jawa padat. Sampai sekarang tidak terjadi apa-apa,” kata Sediono seraya mengingatkan pada janji kampanye Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 untuk melaksanakan reformasi agraria.
”Mungkin counter forces-nya terlalu besar,” tambah Sediono. ”Menjelang (Pemilu) 2009 saya duga tidak akan terjadi apa-apa. Saya juga lihat tidak satu pun calon presiden bicara mengenai reforma agraria.
”Lalu, pilihan kita tinggal menjadi tidak mandiri, menjual SDM dalam bentuk TKI, apa itu? Kalaupun tidak terjajah seperti dulu, kita jadi bangsa yang tergantung, tidak mandiri.”
”Kalau mau langkah konkret, Presiden dan presiden yang akan datang melaksanakan usulan Program Pembaruan Agraria Nasional tahun 2007, yaitu pembagian tanah 8,15 juta ha itu. Harus ada pemetaan untuk menentukan di mana, kapan, berapa luas, dan bagaimana tata guna tanahnya.
————————————–
Ilmuwan “Plus”
Sejak sang istri, Dr Puspa Dewi Tjondronegoro—biasa disapa Bu Pin oleh para mahasiswa—meninggal dunia delapan tahun lalu pada usia 56 tahun, Sediono Tjondronegoro hidup sendiri di rumahnya.
”Tadinya saya kira saya yang duluan karena saya lebih tua,” ujar Pak Tjondro.
Dua anak laki-lakinya sudah menikah dan tinggal di kota lain. Meski demikian, Pak Tjondro tak pernah kesepian. Ia masih terus bekerja, pergi ke lapangan, membantu organisasi nonpemerintah yang fokusnya pada masalah agraria dan kemiskinan, serta mengajar dan terus menulis.
Di kalangan ilmuwan dan aktivis muda, Pak Tjondro dikenal sebagai guru dan ilmuwan yang konsisten dengan prinsip kerakyatan. Tak heran apabila ulang tahunnya yang ke-80 dirayakan meriah oleh anak didiknya. Tiga buku tentang pemikiran Pak Tjondro dan biografinya diluncurkan pada perayaan itu. ”Saya cuma diminta hadir,” kata dia.
Noer Fauzi, aktivis masalah agraria, kandidat PhD dari Universitas Berkeley, Amerika Serikat, mendefinisikan Pak Tjondro sebagai ”ilmuwan plus”.
Pak Tjondro matang oleh berbagai bentuk perjuangan. Pada perang kemerdekaan, ia berjuang di garis depan, sampai jari tangan kirinya cacat kena pecahan mortir. Ia ”militan” memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat melalui kerja keilmuan, merumuskan kebijakan, dan pendampingan masyarakat.
Ia menolak masuknya politik dalam kerja keilmuan, karena ilmu harus memberi sumbangan bagi perbaikan siapa pun, tanpa sekat ras, golongan, agama, kelompok, atau jender.
Saling terkait
Pak Tjondro dilahirkan sebagai anak ketiga dari empat bersaudara anak pasangan Sutiyoso Sosrobusono—setelah menjadi Bupati Semarang tahun 1949 namanya menjadi Sutiyoso Tjondronegoro—dan Sumilah. Keluarga Tjondronegoro memiliki hubungan keluarga dekat dengan RA Kartini.
Sebagai ilmuwan, Pak Tjondro memahami tradisi ilmu di Eropa dan Amerika Serikat. Ketika di Belanda, ia dipilih menjadi asisten sosiolog terkemuka Belanda, Prof Wertheim. Di Wisconsin, Amerika Serikat, ia tidak aktif dalam organisasi mahasiswa, tetapi ikut demonstrasi menentang alumni dari universitas itu yang melamar kerja di Dow Jones, perusahaan kimia pembuat bom napalm untuk perang Vietnam. Padahal beasiswanya saat itu didapat dari bantuan Amerika Serikat (USAID).
Ia berpandangan ilmu sosial hanya relevan dan berkembang bila mampu memahami masalah di masyarakat, harapan rakyat, adat istiadat, dan kebahagiaan mereka. Oleh karena itu, diperlukan pengalaman langsung untuk terjun ke tengah masyarakat.
Ia juga teguh pada pendapat bahwa ilmu-ilmu sosial harus didudukkan dengan ilmu alam, karena interaksi manusia erat berkaitan dengan lingkungan alam. Pemikiran lintas dan multidisiplin ini dijiwai teori kesalingterkaitan (interconnectedness). Dalam buku biografinya, ia menyatakan terkesan pada pandangan ilmuwan fisika, Fritjof Capra, dalam buku The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture (1982).
Sumbangan pemikirannya sangat berarti agar negeri ini tak terjajah untuk kedua kalinya. Kita berutang kalau tidak melanjutkannya! (MH/NMP)
Sumber:yudhitc.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar