Tanggal 28 Juni 2010, bertepatan dengan ulang tahunnya yang
ke-45 harian Kompas kembali memberikan penghargaan kepada lima cendekiawan
berdedikasi. Penghargaan tahun ini diberikan kepada Advokat Adnan Buyung
Nasution, Astronom Bambang Hidayat, Sejarahwan RP Soejono, Sosiolog Sediono MP
Tjondronegoro, dan Sosiolog Mely G Tan. Penghargaan serupa telah diberikan
harian Kompas pada 2008 dan 2009.
Rumah yang dinaungi pohon-pohon rindang di Kota Bogor, tak
jauh dari mulut pintu Tol Jagorawi, itu kini tak lagi sepi seperti satu
setengah tahun lalu ketika Kompas berkunjung ke sana. Prof Dr Sediono
MP Tjondronegoro tak lagi tinggal sendiri karena anak tertuanya, beserta istri
dan dua anak mereka, tinggal di situ juga.
“Sekarang jadi lebih ramai sedikit,” kata Prof Tjondro.
Jumat (4/6/2010) sore itu dua cucunya yang masih kecil bermain-main di ruang
tengah. “Ibu mereka, menantu saya, dokter kandungan, berpraktik di dua rumah
sakit. Dia sering dipanggil untuk menolong persalinan. Saya jadi ragu, apa iya
pertumbuhan penduduk kita sudah benar terkendali,” kata Prof Tjondro.
Sebelumnya, guru besar emeritus bidang sosiologi Institut
Pertanian Bogor (IPB) itu tinggal sendiri setelah istrinya, Dr Puspa Dewi
Tjondronegoro, meninggal 10 tahun lalu dan dua anak lelakinya mandiri.
Hari-harinya, hingga kini usianya melewati 82 tahun, tetap diisi dengan
kegiatan akademis dan meneliti. Hari ini pun, sesudah menerima penghargaan
dari Kompas sebagai ilmuwan berdedikasi, Prof Tjondro segera kembali
ke Bogor untuk menguji mahasiswi S-3 IPB bimbingannya.
Meskipun tidak lagi terjun langsung ke lapangan, ia masih
ikut dalam merancang dan membahas hasil penelitian di lembaga nonpemerintah,
seperti Bina Desa, Yayasan Akatiga, Yayasan Padi Mandiri, dan Lembaga
Pengkajian Pertanahan.
Di luar itu, dia menjadi Wakil Ketua Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI) setelah sebelumnya menjabat Ketua Komisi Ilmu
Sosial AIPI.
Melewati pengalaman hidup yang begitu panjang, Prof Tjondro
merisaukan alam demokrasi setelah tahun 1998 yang dimaknai sebagian besar
anggota masyarakat sebagai kebebasan individu saja. Maka, jumlah partai politik
menjadi 38. Pemimpinnya kurang pengalaman dan tidak punya visi jelas yang
ditandai, antara lain, dengan merekrut artis yang tak punya pengetahuan politik
sebagai calon anggota legislatif atau eksekutif dalam pilkada. “Itu berpotensi
menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata penerima Bintang Jasa Utama
(1994) ini.
Keadaan tersebut disebabkan banyak anggota masyarakat
kekurangan pendidikan dan pengetahuan. Terjadi perpindahan cepat dari
masyarakat desa yang berpegang pada adat, ke organisasi masyarakat modern.
Situasi diperburuk modernisasi ekonomi yang terlalu cepat ketika masyarakat
didorong ke dunia konsumtif. Doktor sosiologi dari Universitas Indonesia ini
menggunakan istilah anomie untuk kondisi masyarakat saat ini yang kehilangan
pegangan moral dan hukum. “Hukum itu konsep modern, sementara adat hukum tak
tertulis, tetapi dipatuhi,” ujar. Kita masih butuh kepemimpinan yang tegas dan
kuat, tetapi sekaligus juga lebih bebas dan demokratis. Istilahnya enlightened
despotism.”
Seharusnya rakyat diberi aset, yaitu tanah dan laut yang
merupakan modal pokok kita.
Bagaimana penjelasannya?
Ada kepemimpinan tegas, panutan, kekeluargaan, tetapi juga
ada ciri organisasi sehingga warga negara menerima dan melaksanakan peraturan
dengan penuh kesadaran. Moralitas masih menjadi pegangan warga. Birokrasi yang
ketat karena itu belum berlaku, walau keteraturan masyarakat menjadi kenyataan.
Bagaimana memandang masa depan?
Situasi anomie tidak akan terjadi ketika pendidikan lebih
baik. Mungkin perlu waktu 30–40 tahun, asal kita tidak dijajah bangsa asing
lagi. Kita harus sangat hati-hati terhadap modal asing. Intinya, setelah
merdeka tahun 1945, kita harus jadi bangsa mandiri. Alam kita kaya, penduduk
banyak. Kekayaan itu harus kita manfaatkan sebaik mungkin secara mandiri untuk
pangan, pendidikan, kesehatan sehingga mengurangi kemiskinan dan kebodohan.
Sekarang, pertumbuhan ekonomi tidak langsung dinikmati
rakyat. Subsidi diberikan untuk raskin, bantuan langsung tunai, BBM, tetapi itu
tidak menolong. Sifatnya sementara. Seharusnya rakyat diberi aset, yaitu tanah
dan laut yang merupakan modal pokok kita. Rakyat hidup dari aset itu, punya
pekerjaan. Saat ini, penguasaannya bukan oleh petani dan nelayan kita. Saya
baru kembali dari Ternate, kaya ikan, tetapi produsen terbesar Thailand, bukan
Indonesia. Sawit, eskportir terbesar Malaysia. Transportasi arahnya kendaraan
pribadi, bukan transportasi umum, kereta api. Semua modal asing. Kita hanya
jadi tempat perakitan dan pasar.
Bagaimana arah pembangunan?
April 2009 saya diundang Badan Pertimbangan Presiden, saya
sampaikan ketidaksetujuan atas amandemen UUD 1945, seluruh pasalnya. Celakanya
UUD kita tidak mengenal pasal amandemen perubahan ke dalam UUD. Di AS, ada
pasal yang menegaskan, amandemen tidak bisa mengubah isi UUD, amandemen harus
dibuat terpisah dari isi asli UUD. Pasal 37 UUD 1945 bisa diinterpretasi
sebagai membuat UU amandemen terpisah dari isi asli UUD 1945.
Sisi positif?
Kemajuan setelah periode Orde Baru adalah kebebasan yang
sangat saya hargai. Kebebasan pers, intelektual, berorganisasi, kemajuan
komunikasi, dan pendidikan dalam arti banyak orang Indonesia belajar ke China.
Di sisi lain, masih banyak hambatan pembangunan yang
sekarang tidak lagi berencana seperti zaman Orde Baru. Tidak ada lagi GBHN dan
Pelita, diganti sasaran kebijaksanaan kabinet yang bisa berubah tiap lima
tahun.
Yang dibutuhkan rencana jangka panjang. Tetapi, saya
khawatir, dengan 38 parpol serta DPR dan DPRD yang coraknya seperti sekarang,
rencana jangka panjang sulit disusun dan dipatuhi. Memang enlightened
centralismdalam politik pun masih dibutuhkan. (Ninuk Mardiana Pambudy)
dikutip dari http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/06/28/11401258/Merisaukan.Alam.Demokrasi
dikutip dari http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/06/28/11401258/Merisaukan.Alam.Demokrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar