MADURATANI, LEMBANG
Nama Asep Sutisna
relatif populer di kalangan peternak dan penggemar kelinci di Jawa
Barat, bahkan Indonesia. Belajar tak kenal lelah membuat ia paham
seluk-beluk beternak kelinci hias maupun pedaging. Melalui kelinci, ia
ikut mengangkat derajat ekonomi warga Desa Gudang Kahuripan,
Kecamatan
Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Kios
kelinci begitu mudah dijumpai dalam perjalanan Bandung-Lembang. Tak
hanya kelinci hidup, di jalur ini juga mudah ditemukan warung sate
kelinci.
Seekor kelinci hias dijajakan dengan harga puluhan ribu hingga
jutaan rupiah. Kelinci telah mendukung perekonomian ratusan peternak,
banyak pedagang dan pekerja yang terlibat. Bagi mereka, kelinci tidak
sekadar lucu, tetapi juga mampu menopang kehidupan rumah tangga.
Sebagai
peternak sekaligus pembudidaya indukan kelinci, Asep Sutisna (45) kerap
diundang sebagai narasumber di berbagai seminar. Dia juga menjadi
anggota World Rabbit Science Association. Peternakan miliknya pun sering
menjadi tempat belajar para pelajar, mahasiswa, serta siapa pun yang
tertarik beternak kelinci, dan itu gratis. Tak heran jika ia berkawan
akrab dengan banyak akademisi dari fakultas peternakan berbagai
perguruan tinggi.
Sebagai peternak, Asep memiliki 100 peternak
binaan. Dia tergolong sesepuh dalam kelompok peternak kelinci di kawasan
Lembang yang beranggotakan sekitar 300 orang. "Potensi usaha ternak
kelinci masih sangat bagus. Sampai sekarang pun peternak Lembang belum
bisa memenuhi permintaan pasar, baik kelinci hias maupun pedaging," kata
Asep.
Padahal, lanjut Asep, sedikitnya ada 130.000 ekor
indukan kelinci di Lembang. Satu induk bisa melahirkan hingga 30 kali
dengan jumlah anak rata-rata 5 ekor pada setiap kelahiran. "Sebagian
kelinci malah bisa melahirkan sampai sembilan ekor," tuturnya.
Namun,
sukses budidaya kelinci di Lembang itu tidak terjadi begitu saja.
"Kalau sekadar memelihara kelinci, itu sudah lama dilakukan orang," ucap
pria yang sulit mengingat kapan pastinya budidaya kelinci dimulai di
Lembang.
Bukan pionir
Asep mengaku dia bukan pionir
pemelihara kelinci di Lembang. Tahun 1990-an sebagian warga Desa Gudang
Kahuripan sudah memelihara kelinci sebagai kegemaran. Ketika itu Asep
justru masih bekerja sebagai juru foto. Bahkan, saat itu, lulusan
sekolah teknik menengah jurusan listrik ini masih memiliki studio foto.
Sampai
suatu hari anak laki-lakinya, Taufik Soleh, minta dibelikan kelinci.
"Waktu itu dia masih anak-anak. Dia pengin punya kelinci karena melihat
teman-temannya memelihara kelinci," cerita Asep.
Dia lalu
membelikan anaknya lima kelinci yang kemudian dipelihara sambil lalu.
Namun, ketika Taufik bosan terhadap kelinci-kelinci itu, Asep menjual
lima ekor kelinci tersebut dengan cara memajangnya di jalur
Bandung-Lembang. "Ternyata laku. Jadi saya beli kelinci lagi untuk
dijual, eh ternyata laku lagi," ujarnya.
Meski demikian,
berjualan kelinci hanyalah usaha sampingan yang tak dijalani Asep dengan
serius. Dia masih menekuni studio fotonya. Sampai suatu hari telepon
dari sang istri menjadi titik baliknya.
"Saat itu saya sedang
di studio, istri saya telepon minta saya cepat pulang. Katanya, banyak
yang mau membeli kelinci," tutur Asep.
Peristiwa itu hampir
bersamaan dengan krisis moneter 1997-1998 yang membuat harga
barang-barang naik drastis, termasuk film untuk keperluan studio
fotonya. Asep pun memutuskan serius beternak kelinci.
Namun,
dia harus menghadapi kenyataan pahit ketika banyak kelinci peliharaannya
terserang scabies. Sebagai peternak pemula, Asep belum tahu cara
mengatasi penyakit itu hingga banyak kelincinya yang mati. Itu sempat
membuat Asep berpikir untuk banting setir, pindah usaha sebagai peternak
sapi.
Meskipun tak punya sapi, Asep nekat ikut pelatihan.
"Mentornya warga negara Jepang. Di pelatihan itu, dia malah menyarankan
saya tetap menekuni ternak kelinci," cerita Asep.
Ia pun
belajar banyak dari orang Jepang tersebut. Salah satu hasilnya, ia bisa
mengatasi masalah penyakit scabies pada kelinci. Selain ikut berbagai
pelatihan, ia juga belajar memelihara dan membudidayakan kelinci dari
mereka yang dinilainya lebih berpengalaman. "Saat itu buku referensi
tentang budidaya kelinci masih jarang," ujar ayah dua anak itu.
Sedikit
demi sedikit Asep mampu menguasai seluk-beluk tentang kelinci. "Kalau
mau berhasil jadi peternak, kita harus memahami berbagai hal yang
terkait, dari hulu sampai hilir. Jadi kita tidak tergantung dari pihak
lain. Banyak peternak ayam yang gulung tikar karena tidak menerapkan
konsep itu," katanya.
Menyilangkan
Tak puas hanya
membudidayakan jenis kelinci yang biasa dipelihara warga setempat, Asep
lalu mendatangkan indukan kelinci dari luar negeri. Dia menyilangkan
indukan kelinci impor itu dengan jenis kelinci yang ada.
Kini,
ada berbagai jenis kelinci yang diternakkan di Lembang, antara lain
American rex, American fuzzy lop, Lop holland, English angora, Dutch,
Himalayan, Netherland Dwarf, dan Lion.
Selayaknya dokter hewan,
ia pernah meneliti anatomi kelinci dengan membedah bagian pencernaan.
Asep juga mempelajari berbagai hal menyangkut pakan kelinci.
"Dulu,
saya banyak menghabiskan waktu di kandang untuk mengamati kelinci.
Sering saya baru keluar kandang pukul 02.00 atau 04.00. Istri saya
sampai bilang, tidur saja di kandang," cerita Asep yang kini omzetnya
berkisar Rp 10 juta per minggu ini.
Kerja kerasnya tidak
sia-sia. Ia juga bisa memproduksi dan memasarkan pakan berupa pelet
kering. Ia membuat produk olahan daging kelinci berupa nugget, sosis,
dan burger. "Produk olahan belum banyak kita buat karena daging kelinci
sangat terbatas. Peternak suka memelihara kelinci hias yang lebih
menguntungkan," katanya.
Untuk sate digunakan kelinci hias
apkiran. Bahkan, pedagang sate kadang mendatangkan kelinci pedaging dari
luar Lembang. "Harga daging hanya bisa ditekan jika peternak fokus pada
penjualan kulit kelinci. Harga satu lembar kulit kelinci jenis American
rex, misalnya, berkisar 8-16 dollar AS. Itu pun permintaannya tak bisa
dipenuhi peternak," ujar Asep.
Masih ada yang ingin diwujudkan
Asep, yakni mendirikan usaha kelinci terpadu, mulai dari peternakan,
pembibitan, industri produk olahan, pengolahan kulit, restoran, hingga
wisata kelinci.
"Kalau cita-cita saya tercapai, pasti ribuan
tenaga kerja bisa terserap ya," ucapnya tentang cita-cita yang tentunya
membutuhkan investasi miliaran rupiah itu. (LIS DHANIATI/asep-rabbit.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar