Kaum tani di Indonesia muncul pertama kali di masa
masyarakat feodal, di mana pada waktu itu kaum tani berposisi sebagai tani
hamba dari tuan tanah feodal yang menguasai tanah. Tani hamba bekerja menggarap
lahan atau tanah milik tuan tanah feodal yang pada waktu itu menyebut dirinya
sebagai raja. Seluruh hasil tanah yang digarap oleh tani hamba diserahkan
kepada raja dan tani hamba mendapat bagian sesuai dengan kebijakan dari raja.
Pada masa itu, yang banyak berlaku adalah aturan kewajiban
tani hamba untuk menyerahkan upeti berupa hasil produksinya sebagian besar
kepada raja sebagai bukti pengakuan kepemilikan tanah oleh raja sekaligus juga
kepatuhan tani hamba terhadap sang raja. Selain keharusan untuk menyerahkan
upeti, tani hamba juga harus siap swaktu-waktu untuk menyerahkan tenaga
kerjanya tanpa dibayar ketika raja membutuhkan dan memiliki kehendak untuk
mewujudkan keinginannya seperti membangun istana, jalan, bahkan berperang
melawan kerajaan yang lain. Belum lagi pajak yang juga dikenakan oleh raja
terhadap kaum tani di luar upeti. Dan apabila kaum tani tidak dapat memenuhi
kewajiban-kewajibannya, maka dipastikan mereka akan mendapatkan hukuman. Dapat
dibayangkan bagaimana penderitaan tani hamba pada waktu itu dan kondisi
hidupnya yang melarat dan miskin.
Kepatuhan dan ketertundukkan kaum tani terhadap raja semakin
diperteguh oleh kesadaran feodal di kalangan kaum tani yang menganggap bahwa
raja adalah ‘manusia pilihan’ dan utusan Tuhan. Sehingga harus dihormati dan
menjadi tempat untuk mengabdi. Kesadaran ini semakin dikuatkan oleh ajaran
agama yang memperkuat kedudukan raja dalam masyarakat. Dan kemudian kaum
tanipun terbenam dalam ketidakberdayaan dan penerimaan bahwa seluruh
penderitaan yang dialaminya adalah takdir yang harus ditanggung dengan penuh
kesabaran dan bahkan ‘rasa syukur’. Namun bukan berarti bahwa kaum tani pada
waktu itu tidak melakukan perlawanan terhadap sistem ekonomi politik yang
menindas dirinya. Berbagai bentuk perlawanan muncul seperti misalnya penolakan
memberikan upeti, penolakan membayar pajak, bahkan juga melakukan perlawanan
secara berkelompok sekalipun mudah dipatahkan oleh raja dan tentaranya.
Pada perkembangannya, ketika bangsa asing masuk ke Indonesia
sebagai tanda dimulainya masa penjajahan maka penderitaan petani bukannya
berkurang tetapi justru bertambah hebat. Pada masa VOC, kewajiban para penguasa
lokal untuk menyerahkan hasil pertanian menjadikan tekanan terhadap petani
bertambah kuat. Demikian juga di masa pendudukan Inggris, telah diperkenalkan
pajak tanah berupa uang, menggantikan penyerahan wajib (upeti). Kenyataannya,
pajak tanah yang dikenakan oleh pemerintah penjajahan sangat tinggi dan banyak
kaum tani yang tidak mampu untuk membayar pajak. Untuk membayar pajak tersebut,
tidak jarang banyak kaum tani yang harus menjual tanahnya dan kemudian terpaksa
menjadi buruh di perkebunan.
Beban penderitaan yang bertumpuk-tumpuk itulah yang kemudian
menjadi lahan yang subur bagi munculnya ketidakpuasan, kemarahan dan kebencian
kaum tani terhadap pemerintah kolonial Belanda dan kaki tangan lokalnya. Perang
Jawa atau banyak dikenal sebagai perang Diponegoro menjadi salah satu bentuk
perlawanan kaum tani yang pada saat itu mengalami penderitaan karena dikenai
berbagai macam pajak baik oleh Belanda maupun kerajaan Mataram. Itulah yang
menjadi sebab mendasar kenapa massa rakyat bangkit melawan kekejaman penjajah
dan penguasa kerajaan Mataram. Bukan pertama-tama karena kepahlawanan Pangeran
Diponegoro, karena ajakan Diponegoro untuk melawan Belanda tidak akan disambut
luas jika massa rakyat memang tidak memendam kemarahan besar terhadap Belanda.
Di sinilah nampak dengan jelas bagaimana peranan massa rakyat yang menentukan
Perang Jawa dapat terjadi, meluas di berbagai wilayah di Jawa, dan bertahan
selama kurun waktu yang lama (5 tahun).
Perang Jawa telah menimbulkan kerugian besar di pihak
pemerintah Belanda baik berupa kerugian finasial (keuangan) maupun kehilangan
pasukan dalam jumlah yang sangat besar. Perang Jawa juga telah menunjukkan
kegigihan massa rakyat khususnya kaum tani dalam melakukan perlawanan
bersenjata terhadap penguasa Belanda dan kaki tangan pribuminya. Namun pada
akhirnya perang Jawa mengalami kegagalan dan dapat dihancurkan oleh Belanda
karena dua sebab utama yaitu pertama, masih bersifat lokal atau kedaerahan
karena hanya mencakupi wilayah DIY dan sebagian Jawa Tengah. Hal ini memudahkan
Belanda untuk mengkonsentrasikan kekuatan militernya dari banyak tempat baik di
Jawa maupun luar Jawa di Jateng dan DIY. Kedua, perlawanan massa rakyat yang sebagian
merupakan kaum tani masih dipimpin oleh penguasa feodal yaitu Diponegoro yang
memiliki watak bimbang dan tidak teguh dalam memegang garis perjuangan terhadap
penjajahan. Hal ini yang menyebabkan Diponegoro gampang dibujuk oleh Belanda
dan melalui sebuah siasat perundingan, Belanda dapat menangkap dan mengasingkan
Diponegoro. Karena kepemimpinan perjuangan terpusat di tangan Diponegoro, maka
paska ia ditangkap tidak ada kepemimpinan yang meneruskan perlawanan massa
rakyat. Dan kemudian perlawanan menjadi surut dan dapat ditumpas dengan lebih
mudah oleh Belanda.
Karena kerugian yang sangat besar dari perang Jawa, maka
kemudian Belanda menerapkan pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (STP) baik di Jawa
maupun di luar Jawa. Tujuannya jelas yaitu untuk menutup kerugian finansial
yangdialami akibat perang Jawa selam 5 tahun. Sistem Tanam Paksa mengharuskan
negeri jajahan Indonesia menyediakan tanah dalam jumlah yang sangat besar untuk
ditanami tanaman komoditi ekspor yang akan diangkut ke negeri Belanda untuk kemudian
dijual ke pasar dunia. Untuk kepentingan tersebut, pemerintah Belanda
menerapkan aturan bahwa kaum tani di Indonesia harus menyerahkan 1/5 tanah
garapannya untuk ditanami tanaman ekspor seperti teh, kopi, vanili, tembakau
dan lain-lain. Pada kenyataannya, pelaksanaan STP lebih parah daripada aturan
formalnya, karena prkteknya kaum tani harus menyerahkan seluruh tanahnya untuk
tanam paksa. Bahkan juga seluruh tenaga kerjanya harus diserahkan untuk
mengurus tanaman ekspor yang mereka tidak pernah merasakan hasilnya. Apalagi
pemerintah Belanda menggunakan penguasa feodal lokal seperti Bupati, Residen
dan Kepala Desa untuk memaksa kaum tani menyerahkan tanah dan tenaga kerjanya.
Pelaksanaan STP di satu sisi memberikan keuntungan yang luar
biasa bagi pemerintah Belanda. Tercatat sampai akhir tahun 1870, keuntungan
yang diperoleh pemerintah Belanda mencapai 725 juta gulden, yang kemudian dapat
untuk membayar hutang-hutang mereka dan menjadi bagian terbesar yang menopang
anggaran belanja negeri Belanda. Tetapi di sisi lain, menimbulkan kesengsaraan
dan penderitaan yang amat sangat di kalangan kaum tani. Bencana kelaparan dan
penyakit menyerang massa rakyat khususnya kaum tani di Jawa. Krisis ekonomi
melanda pulau Jawa secara luas pada akhir tahun 1880. Dan data sejarah
mencatat, terjadi tragedi memilukan karena tingginya tingkat kematian akibat
bencana kelaparan dan penyakit sehingga setengah dari jumlah penduduk Jawa
berkurang. Selama kurun waktu tersebut, kaum tani juga tidak berhenti melakukan
perlawanan terhadap penjajah Belanda. Sejarawan Indonesia Onghokham
mengemukakan bahwa semenjak perang Diponegoro selesai pada tahun 1830 sampai
permulaan pergerakan nasional pada tahun 1908, diperkirakan terdapat lebih dari
100 pemberontakkan atau keresahan petani. Itu berarti hampir setiap tahun ada
saja onrust atau uproar (kerusuhan), sifatnya lokal dan mudah ditindas,
termasuk peristiwa paling spektakuler yakni pemberontakkan petani Banten pada
tahun 1888.
Pemberontakkan petani Banten pada tahun 1888 menjadi puncak
perlawanan kaum tani terhadap penguasa penjajah dan kaki tangan pribuminya
sepanjang abad 19 dan menjelang abad 20. Pemberontakkan petani Banten juga
dilatarbelakangi oleh beban berat penderitaan kaum tani dan kebencian yang amat
dalam terhadap penguasa Belanda maupun juga penguasa pribumi (Bupati dan
Residen) yang dianggap sebagai antek-antek Belanda. Pemberontakkan terjadi di
Banten, Lebak dan juga sampai ke daerah Batavia. Pemimpin pemberontakkan
berasal dari kalangan ulama yaitu kyai/tubagus maupun para jawara. Namun
demikian pemberontakkan petani Banten tersebut dapat ditumpas dengan mudah
karena seperti halnya karakter gerakan perlawanan kaum tani sebelum abad 20,
masih bersifat lokal, kedaerahan dan dipimpin oleh tokoh feodal lokal.
Pada awal abad 20, mulai bermunculan organisasi pergerakan modern yang sudah mulai mengusung tema-tema perjuangan nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Seperti misalnya Sarekat Islam (SI) yang sekalipun tujuan awalanya untuk kepentingan perlindungan bagi usaha dagang pribumi, tapi dalam perkembangannya juga banyak bersentuhan dengan tema nasionalisme dan anti kolonialisme, dan segera saja memiliki keagngotaan luas di seluruh Indonesia. Kemudian juga lahir ISDV yang memang sedari awal memiliki garis anti kolonialisme dan banyak mempelopori lahirnya organisasi klas buruh seperti VSTP , serikat buruh kereta api. Kaum tani juga kemudian memiliki organisasinya yaitu Serikat Buruh Tani dan Perkebunan, yang pada perkembangannya berdiri sendiri-sendiri yaitu Serikat Buruh Tani dan Serikat Buruh Perkebunan.
Pada awal abad 20, mulai bermunculan organisasi pergerakan modern yang sudah mulai mengusung tema-tema perjuangan nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Seperti misalnya Sarekat Islam (SI) yang sekalipun tujuan awalanya untuk kepentingan perlindungan bagi usaha dagang pribumi, tapi dalam perkembangannya juga banyak bersentuhan dengan tema nasionalisme dan anti kolonialisme, dan segera saja memiliki keagngotaan luas di seluruh Indonesia. Kemudian juga lahir ISDV yang memang sedari awal memiliki garis anti kolonialisme dan banyak mempelopori lahirnya organisasi klas buruh seperti VSTP , serikat buruh kereta api. Kaum tani juga kemudian memiliki organisasinya yaitu Serikat Buruh Tani dan Perkebunan, yang pada perkembangannya berdiri sendiri-sendiri yaitu Serikat Buruh Tani dan Serikat Buruh Perkebunan.
Perlawanan kaum tani juga tidak pernah surut, bahkan pada
tahun 1926 meletuslah pemberontakan nasional kaum tani bersenjata.
Pemberontakkan 1926 ini bertujuan untuk menghancurkan kolonialisme dan juga
sisa-sisa feodalisme. Berbeda dengan perlawan kaum tani sebelum abad 20,
pemberontakkan 1926 memperlihatkan karakter nasional dan telah dipimpin oleh
klas buruh. Bersifat nasional, karena telah terjadi di banyak tempat baik di
Jawa maupun luar Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan. Juga tidak lagi dipimpin
oleh penguasa feodal lokal tetapi oleh klas buruh, melalui partainya. Tetapi
karena kelemahan-kelemahan secara internal di dalam gerakan perlawanan kaum
tani dan kepemimpinan klas buruh, maka pemberontakkan mengalami kegagalan dan
dapat ditumpas oleh Belanda. Salah satu kelemahan misalnya pemberontakkan tidak
dilakukan dalam waktu yang serentak, sehingga memudahkan Belanda menanganinya.
Paska 1926, gerakan kaum tani mengalami pengawasan dan
penekanan yang ketat dan keras dari Belanda, karena kekuatiran muncul kembali
perlawanan dan pemberontakkan dari kaum tani. Demikian pula di masa
imperialisme fasis Jepang, polisi rahasia Jepang yang dikenal sangat kejam dan
lihai senantiasa memata-matai gerak-gerik kaum tani dan para pimpinannya.
Sehingga tidak sedikit yang kemudian ditangkap, disiksa dan dipenjarakan. Namun
demikian tidak menghalangi kaum tani untuk tetap bergerak, dan puncaknya ketika
Revolusi Nasional 17 Agustus 1945, kaum tani yang dipimpin oleh para pemuda
revolusioner turut serta secara aktif dalam merebut persenjataan dari Jepang
dan memproklamasikan kemerdekaan. Di banyak tempat terbentuk laskar tani di
samping laskar rakyat yang lain seperti laskar pesindo, laskar buruh, laskar
minyak dan lain-lain. Demikian juga ketika terjadi agresi Belanda dan
kedatangan Sekutu selama kurun waktu 1945-1948, kaum tani juga turut aktif
dalam perlawanan rakyat bersenjata.
Pada bulan November 1945, diselenggarakan kongres petani
yang pertama dan dalam kongres tersebut lahirlah Barisan Tani Indonesia (BTI).
Kemudian disusul kelahiran Rukun Tani Indonesia (RTI) dan Sarekat Kaum Tani
Indonesia (Sakti). Pada tahun 1947 berdiri Serikat Tani Islam Indonesia (STII)
yang disponsori oleh Masyumi. Menyusul PETANI yang banyak dinilai dekat dan PNI
dan PETANU yang dekat dengan NU. Organisasi-organisasi tani tersebut, khususnya
BTI kemudian berkembang dengan pesat, bahkan pada akhir tahun1955, anggota BTI
telah mencapai angka 3 juta lebih dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Gerakan petani paska berdirinya organisasi tani modern tersebut tidak dapat
dilepaskan dari gerakan massa rakyat dalam revolusi Indonesia. Program
perjuangan dari organisasi tani khususnya BTI, RTI dan Sakti yang dikemudian
hari meleburkan diri menjadi BTI digariskan dengan tegas yakni anti
imperialisme dan juga anti feodalisme dengan memperjuangkan terlaksananya land
reform. Organisasi tani inilah yang secara aktif menuntut nasionalisasi
perusahaan asing dan pelaksanaan secara konsisten UUPA 1960.
Pada tahun 1966, pemerintahan Soekarno jatuh dan naiklah
orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Periode ini menandai awal dari sebuah
masa kemunduran gerakan tani dan surutnya organisasi-organisasi tani. Pada awal
naiknya orde baru, banyak anggota BTI yang dibunuh oleh pemerintahan Soeharto
dengan tuduhan komunis. Hal tersebut menimbulkan trauma panjang di kalangan
kaum tani untuk bangkit dan membangun gerakan tani. Hal tersebut memang
merupakan strategi orde baru untuk melumpuhkan gerakan tani di Indonesia. Paska
1966, orde baru mempraktekkan kebijakan yang sangat mengekang kebebasan
berorganisasi bagi kaum tani. Satu-satunya organisasi yang ‘direstui’ oleh orde
baru adalah HKTI, dan apabila kaum tani menolak masuk HKTI atau mendirikan
organisasi sendiri maka akan dicap sebagai pembangkangan terhadap pemerintah.
Demikian juga aturan tentang partai politik yang tidak diperbolehkan membentuk
ranting sampai tingkat desa, merupakan upaya dan strategi orde baru untuk
memberangus kesadaran politik kaum tani. Dan ini terbukti berhasil, di mana
selama 32 tahun, kaum tani di Indonesia dibuat buta tentang politik dan
menganggap hal yang tabu untuk berbicara atau berurusan dengan politik. Protes
dan ketidakpuasan petani juga banyak dihadapi dengan kekerasan oleh orde baru,
sehingga menimbulkan ketakutan yang mendalam di kalangan kaum tani. Dapat
dikatakan, selama Soeharto berkuasa, gerakan tani mengalami kemunduran yang
luar biasa.
Namun bukan berarti bahwa selama masa orde baru berkuasa,
kaum tani tidak melakukan perlawanan. Kebijakan orde baru banyak mengabdi pada
kepentingan imperialisme, borjuasi komprador dan tuan tanah. Akibatnya sangat
merugikan kaum tani dan menelantarkan petani dalam penderitaan akibat praktek
penyerobotan, perampasan dan penggusuran tanah rakyat dengan berbagai dalih
seperti untuk kepentingan pembangunan, dirampas perkebunan, perhutani dan
perusahaan, untuk pembangunan perumahan mewah dan industri, diambil alih
militer dan lain sebagainya. (kawandesa)
Selama kurun waktu 30 tahun mulai 1970 sampai dengan tahun
2000, tercatat telah terjadi tidak kurang dari 1753 kasus sengketa tanah yang
menghadapkan kaum tani dengan negara maupun pengusaha dan militer. Perlawanan
kaum tani tetap dilakukan seperti misalnya dengan melakukan pembangkangan
pembayaran pajak, aksi demonstrasi, aksi mogok makan, perusakan fasilitas
pemerintah, penolakan untuk dipindahkan dari tanahnya, pembakaran milik
perusahaan, penuntutan kembali hak atas tanah (reklaiming), pengambilalihan
atau pendudukan tanah (okupasi) sampai juga perlawanan fisik. Demikian juga
pendirian organisasi-organisasi tani secara independen di luar HKTI juga
merupakan bentuk perlawanan secara organisasi. Juga praktek pertanian organik,
pendirian koperasi-koperasi dan lumbung-lumbung benih merupakan bentuk perlawanan
petani terhadap kebijakan pemerintah yang menempatkan petani dalam situasi
ketergantungan terhadap input produksi seperti pupuk, benih dan obat-obatan
yang banyak diproduksi pabrik terutama perusahaan asing.
Paska Soeharto jatuh pada tahun 1998, kebebasan demokratik
terbuka lebih lebar dibanding masa sebelumnya. Sehingga kemudian gerakan petani
mengalami kebangkitan kembali. Aksi aksi petani menuntut dikembalikannya
tanah-tanah yang dulu dirampas orde baru semakin marak terjadi di mana-mana
bahkan sampai dilakukannya reklaiming dan pendudukan tanah. Demikian juga
tuntutan untuk dilaksanakannya UUPA 1960 semakin bertambah besar.
Organisasi-organisasi independen yang didirikan oleh kaum tani sendiri, baik di
tingkat desa, kabupaten, propinsi bahkan nasional banyak bermunculan.
Keberanian kaum tani dalam menyuarakan pendapat dan memperjuangkan
kepentingannya semakin bertumbuh-kembang. Sekalipun demikian tetap harus
menghadapi sikap yang keras dan represif dari negara, seperti kasus terakhir
berupa penembakkan petani di Bulukumba, Sulawesi Selatan dan Manggarai, Nusa
Tenggara Timur.
Dari rangkaian ulasan singkat tentang sejarah gerakan tani
di Indonesia, dapat dengan jelas disimpulkan bahwa penindasan terhadap petani
telah terjadi dari masa ke masa. Demikian juga dalam setiap masa penindasan,
selalu muncul perlawanan kaum tani. Ini membuktikan kebenaran hukum obyektif
perkembangan masyarakat bahwa di mana ada penindasan, di situlah akan berkobar
perlawanan. Dan sejarah gerakan tani di Indonesia membuktikan satu hal
yang penting bahwa KAUM TANI MEMILIKI TRADISI BERLAWAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar