Hati-Hati ada Oknum yang mengatasnamakan Wartawan/Marekting/dll atas nama Maduraexpose.com. Kirim Saran dan Berita Anda melalui email maduraexposenews@gmail.com dan SMS Center 081934960999

Jumat, 08 Maret 2013

Beda Petani Indonesia dengan Jepang-Eropa

Bertolak belakang dengan petani di Indonesia, betapa enaknya menjadi petani di Jepang dan Eropa. Atas nama kesejahteraan petani, pemerintah Jepang dari dulu hingga kini menutup rapat-rapat pintu bagi beras dari luar negeri. Tak sebutir beras asing pun boleh masuk ke pasar Jepang.
Juga demi kesejahteraan petani di benua Eropa, pemerintah di masing-masing negara memberi perlindungan maksimal terhadap semua produk pertanian dari serbuan produk impor. Masih tersimpan di benak banyak orang, bagaimana gigihnya juru runding Uni Eropa di forum World Trade Organization (WTO) menolak tuntutan puluhan negara berkembang, plus Amerika Serikat dan negara-negara di Amerika Selatan, agar Eropa menghilangkan atau setidaknya menurunkan subsidi ke sektor pertaniannya.
Untuk melindungi petani mereka, Uni Eropa bahkan pasang badan untuk menerima tuduhan sebagai pihak yang menggagalkan keinginan bangsa-bangsa di dunia membentuk rezim perdagangan baru. Bayangkan, betapa nyamannya hidup sebagai petani di Jepang dan Eropa.
Bagaimana di Indonesia? Jawabnya gamblang saja: betapa tidak enaknya menjadi petani di negara ini. Alih-alih dilindungi, yang didapatkan petani kita dari waktu ke waktu tak lebih dari penganiayaan demi penganiayaan. Keberpihakan kepada mereka hanya sebatas kata-kata di ruang rapat serta pernyataan, iming-iming dan janji-janji yang disuarakan dengan lantang untuk konsumsi publik. Puluhan tahun sudah petani Indonesia diiming-imingi dengan ratusan janji bagi perbaikan derajat hidup mereka. Realisasinya? Nol!
Bukannya kesejahteraan yang mereka dapatkan, melainkan meningkatnya derajat kemiskinan mereka. Jutaan petani tak lagi punya ladang karena sudah dibeli orang kota. Nasib mereka berujung pada status sebagai buruh tani.
Sekarang saja, ketika petani Indonesia punya kesempatan menikmati hasil jerih payah mereka berkat menguatnya harga beras, sedang berproses upaya menurunkan harga dengan beras impor. Sangat berani dan tega, karena keputusan mendatangkan 132.000 ton beras dari Vietnam itu diambil di tengah kuatnya arus penolakan, tak hanya dari petani, tetapi juga dari elemen masyarakat lainnya, plus DPR dan sejumlah gubernur.
Situasinya benar-benar kontradiktif. Di depan DPR beberapa waktu lalu, Presiden berpidato bahwa Indonesia dalam status surplus beras. Selain berasal dari sisa panen tahun lalu, stok beras dalam negeri akan bertambah dengan panen baru yang jatuh sekitar Maret-April 2006.
Bukannya menghaturkan terima kasih kepada petani, tapi pemerintah justru ingin menghilangkan kesempatan petani menikmati hasil jerih payahnya. Apa alasan hakiki dari keputusan impor beras itu tidak pernah diketahui. Masyarakat dibiarkan menerima kebijakan tidak masuk akal itu.
Bulog menolak membeli beras petani karena harganya terlalu tinggi. Tidak bersediakah Presiden memerintahkan atau memaksa Bulog melaksanakan fungsi sosialnya untuk membeli beras petani di negara ini agar mereka bisa bahagia sejenak? Kalau pemerintah ngotot impor beras, apa makna eksistensi Bulog bagi rakyat di negara ini? Sangat tidak masuk di akal banyak orang bahwa Perum Bulog, yang notabene adalah alat negara dan instrumen pemerintah, berperilaku sebagai pedagang menghadapi petani di negaranya sendiri.
Mudah-mudahan benar bahwa atas nama kepentingan konsumen dan pengamanan stok pangan, impor beras menjadi pilihan tak terhindarkan. Namun, jika realisasi impor semata-mata untuk menekan harga beras produk petani dalam negeri, apalagi jika impor itu hanya untuk mengejar fee, itu kebijakan tak bermoral.

Untuk sekali ini saja, bersedialah mendengarkan jerit tangis petani kita. Petani tidak bersedia menjual ke Perum Bulog karena harganya tidak menarik, bukan karena pasokan berkurang. Dari beberapa daerah di Jawa Timur, Jawa Barat, hingga Sumatera Selatan (Sumsel), petani menyatakan menolak impor beras itu. Kalau produk impor itu masuk, bagaimana dengan prospek beras dari petani kita yang akan panen serentak pada Maret-April 2006. Stok dalam negeri pasti cukup. Sesungguh-sungguhnya, beras impor tidak diperlukan sekarang ini.(SKO***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MADURA TANI POPULER